Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan hukum. Akan tetapi ditandai dengan ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara yang bersangkutan.
TANTANGAN BELAJAR PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan salah satu dari lima tradisi
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni
citizenship tranmission, saat ini sudah
berkembang menjadi tiga aspek pendidikan
Kewarganegaraan (citizenship education),
yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan
aspek sosial budaya. Secara akademis
pendidikan kewarganegaraan dapat
didefinisikan sebagai suatu bidang kajian
yang memusatkan telaahannya pada seluruh
dimensi psikologis dan sosial budaya
kewarganegaraan individu, dengan
menggunakan ilmu politik, ilmu pendidikan
sebagai landasan kajiannya atauan
penemuannya intinya yang diperkaya
dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan
mempunyai implikasi kebermanfatan
terhadap instrumentasi dan praksis
pendidikan setiap warga negara dalam
konteks sistem pendidikan nasional
(Wiranaputra, 2004).
Pendidikan Kewarganegaraan yang
selanjutnya disingkat PKN, sudah lama
dikembangkan dan dilaksanakan dalam
kurikulum kurikulum di Indonesia,
khususnya pada jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan dilevel ini tidak dapat disangkal
telah membawa keberhasilan, walaupun
belum optimal. Secara umum penguasaan
pengetahuan kewarganegaraan lulusan
pendidikan dasar dan menengah relatif
cukup, tetapi penguasaan nilai dalam arti
penerapan nilai, keterampilan sosial dan
partisipasi sosial hasilnya belum
menggembirakan. Kelemahan tersebut
sudah tentu terkait atau dilatarbelakangi
oleh banyak hal, terutama proses pendidikan
atau pembelajaran, kurikulum, pengelolaan
dan pelaksanaan serta faktor-faktor yang
berpengaruh lainnya.
Berkenaan dengan kurikulum dan
rancangan pembelajaran PKN, beberapa
penelitian telah memberi gambaran tentang
kondisi tersebut. Umumnya perencanaan
dan pelaksanaan pembeajaran PKn tidak
disusun berdasarkan basic competencies
melainkan pada materi, sehingga dalam
kurikulumnya lebih banyak memuat konsep- konsep teoritis”. Pembelajaran PKN di sekolah lebih menekankan aspek
pengetahuan, berpusat pada guru,
mengarahkan bahan berupa informasi yang
tidak mengembangkan berpikir nilai serta
hanya membentuk budaya menghafal dan
bukan berpikir kritis. Pembelajaran PKN
sangat menjemukan karena penyajiannya
bersifat monoton dan ekspositoris sehingga
siswa kurang antusias dan mengakibatkan
pelajaran kurang menarik padahal minat
merupakan modal utama untuk keberhasilan
pembelajaran PKN. Model pembelajaran PKN
yang diimplementasikan saat ini masih
bersifat konvensional sehingga siswa sulit
memperoleh pelayanan secara optimal.
Dengan pembelajaran seperti itu maka
perbedaan individual siswa di kelas tidak
dapat terakomodasi sehingga sulit tercapai
tujuan–tujuan spesifik pembelajaran
terutama bagi siswa berkemampuan rendah.
Model pembelajaran PKN saat ini juga lebih
menekankan pada aspek kebutuhan formal
dibanding kebutuhan riil siswa sehingga
proses pembelajaran yang dilakukan belum
dapat optimal untuk mengembangkan
potensi anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa
selama beberapa dekade ini pendidikan
hanya menyuguhkan hafalan dan siswa
dianggap sebagai mesin foto kopi yang harus
menghafal berlembar-lembar. Siswa tidak
diajak untuk berpikir dan bagaimana
berpikir untuk mengembangkan hidup.
Pendidikan kurang menyentuh pada
pembentukan watak dan moralitas
seseorang sehingga yang muncul adalah
dehumanisasi dan dekadensi moral. Lepas
dari faktor penyebab kegagalan, guru
memegang peranan penting dalam soal
sukses tidaknya proses pembelajaran.
Jika menilik kebelakang dengan proses
pembelajaran selama ini, sebahagian
pendidik masih menggunakan paradigma
lama sehingga siswa tidak diberi
kesempatan yang bebas untuk
mengkreasikan secara aktif ide atau
gagasannya. Pada paradigma lama tidak bisa
dipungkiri bahwa guru sering melakukan
hal-hal berikut misalnya; memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa, mengkotak- kotakkan siswa berdasar tingkat
keberhasilan dalam menghafal dan memacu
siswa untuk berkompetisi. Seiring tuntutan
jaman dan semakin meningkatnya
kebutuhan pendidikan maka dunia
pendidikan harus berbenah diri sehingga
tercipta kualitas pendidikan yang lebih baik.
Untuk itu, guru harus berani mengubah
paradigma lama ke dalam paradigma yang
lebih baru.
Padahal Pendidikan Kewarganegaraan
yang sarat akan nilai-nilai juga
menyumbangkan keberhasilan seseorang
dalam masyarakat. Bayangkan seseorang
berhasil dalam bisnis, diplomasi, hubungan
regional maupun internasional tidak lepas
dari interaksi sosial. Dalam interaksi
tersebut seseorang dituntut untuk bisa
memahami karakter, etika pergaulan dan
spiritual sehingga seseorang berhasil
menyelami sikap, kemauan dan membangun
kesepakatan dengan orang lain. Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan sosial
bukan matematis atau hukum alam. Untuk
itu betapa pentingnya pendekatan sosial
dalam kehidupan ini dan itu semua ada
dalam konstruksi ilmu-ilmu sosial.
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat
bahwa betapa pentingnya peranan
pendidikan PKN dalam mengembangkan
pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan
sosial. Dengan pengembangan pembelajaran
PKN yang tepat maka dapat mengarahkan
siswa menjadi warga masyarakat, bangsa
dan negara Indonesia yang baik namun
masih banyak ditemukan kelemahan dalam
pembelajaran PKN, baik dalam rancangan
maupun proses pembelajaran. Untuk itulah
betapa tantangan pembelajaran dan
pengembangan model pembelajaran PKN
menjadi hal yang sangat penting untuk terus
dikaji dan didiskusikan yang akhirnya
mampu diimplementasikan seperti yang
diharapkan.
Walaupun pembelajaran PKn sudah
diberi “amanah lebih” untuk membentuk dan
mengembangkan nilai dan moral pada
peserta didik, tapi kenyataannya nilai dan
moral itu lebih banyak terpatri pada asfek
kognitif siswa. Kurang tepatnya metode
pengajaran dan pendekatan yang
dipraktekkan guru di kelas selama proses
pembelajaran menyumbangkan andil
terbesar dari permasalahan ini, disamping
juga diakibatkan karena sistem pendidikan
nasional, penyusunan kurikulum dan
politisasi dalam dunia pendidikan dan
sebagainya.
Berdasarkan pada uraian di atas paling
tidak ada beberapa langkah yang dapat
dilakukan untuk membenahi permasalahan yang ada tersebut, seperti melakukan
pengembangan model pembelajaran yang
mampu meningkatkan keterampilan sosial.
Model ini diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan sosial berdasarkan
pengetahuan PKN, pendidik perlu membuat
konstruksi pembelajaran yang termuat
dalam dokumen pengajaran (silabus) yang
terstruktur sehingga dalam tataran praksis
mudah dipahami.
Konstruksi pembelajaran harus memuat
hal-hal berikut: pertama; pengetahuan yang
dibuat ditemukan, dibentuk dan
dikembangkan oleh siswa. Kedua siswa
diberi kebebasan untuk membangun
pengetahuan secara aktif, ketiga; guru perlu
mengembangkan kompetensinya dan
kemampuan siswa lewat kegiatan- kegiatan
penemuan. Keempat; terbangunnya interaksi
dan relasi yang baik antara peserta didik dan
pendidik.
Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan harus mengedepankan
informasi akurat, up to date, pemahaman
dan penghayatan keilmuan, nilai hidup dan
moral secara jelas. Untuk
mengoperasionalkan tujuan tersebut maka
guru sebaiknya memperhatikan hal-hal
berikut (Sutarjo Adi Susilo: 2000 ):
a)
Pembelajaran harus bersifat siswa sentris
yaitu guru harus memahami keadaan siswa,
memperhatikan perkembangannya dan
harus ada evaluasi yang maksimal berkaitan
dengan gambaran perkembangan siswa;
b)
Pembelajaran harus bersifat humanistik
yaitu peserta didik harus dipahami dan
dihargai sebagai manusia yang utuh dengan
suasana kekeluargaan dalam kelas. Dengan
pendekatan ini sisw akan mudah
mengeksplorasi bakat dan minatnya;
c)
Menggunakan pendekatan belajar
multidimensional, multi media dan multi
evaluasi. Kondisi ini akan menbuat siswa
lebih enjoy dan tercipta joyfull learning, siswa merasa tidak bosan di kelas, dan
mudah memahami materi dan juga jika
terjadi berbagai kesalahan akan mudah
untuk dibenahi. Multi media menyebabkan
siswa mudah membandingkan dan mengkaji
dari berbagai sumber belajar;
d) Partisipasi
aktif dan kreatif siswa di dalam kelas.
Selanjutnya, Winataputra (2005),
menjelaskan agar paling PKn dapat benar- benar memberikan kontribusi dalam rangka
pembangunan karakter bangsa, tiga hal
perlu kita cermati, yaitu “curriculum content
and instructional strategies; civic education
classroom; and learning environment. Pertama, dilihat dari content kurikulum,
Kedua, kelas PKn seyogyanya dilihat dan
diperlakukan sebagai laboratorium
demokrasi. Profil konseptual kelas PKn yang
digagaskan di atas, harus dikembangkan
untuk menggantikan kelas PKn saat ini yang
bersifat lebih dominatif dan indoktrinatif.
Untuk itu maka proses pembelajaran PKn
perlu dikembangkan dengan menerapkan
pendekatan belajar yang bersifat
memberdayakan siswa/mahasiswa. Dengan
demikian kelas PKn akan berubah dari yang
selama ini bersifat “dominatif” menjadi
“integratif”. Pendekatan pembelajaran yang
disarankan untuk dikembangkan adalah
yang berorientasi pada proses berpikir kritis
dan pemecahan masalah atau “critical
thinking-oriented and problem solving- oriented modes”.Dan ketiga, pada saat
bersamaan lingkungan masyarakat sekolah
dan masyarakat yang lebih luas seyogyanya,
juga dikondisikan untuk menjadi “spiral
global classroom”.
Berkaitan dengan hal diatas maka guru
harus berhasil melibatkan siswa dalam
proses belajar sehingga siswa akan merasa
ikut serta dalam setiap aktifitasnya. Proses
pembelajaran dibuat semenarik mungkin
dengan cara menyampaikan kerangka
konseptual secara jelas dan mengangkat
nilai-nilai yang terkandung dalam fakta
tersebut. Guru harus berani memunculkan
nilai yang bisa diangkat dan dihayati untuk
menjadi gerakan bersama. Misal dalam
materi nasionalisme, nilai keadilan dan
demokratisasi. Nilai- nilai yang sudah
ditemukan tersebut diamalkan dan dihayati
dalam kesehariannya dan akan lebih baik
guru kerjasama dengan orang tua/wali siswa
untuk memantau penerapannya. Contoh riil
misalnya, siswa diberi tugas untuk membuat
laporan harian nilai-nilai yang sudah
diterapkan sehari-hari di rumah, orang tua
menandatangani tugas laporan tersebut dan
guru mengecek sejauhmana pelaksanaannya
melalui buku tersebut. Di dalam kelas guru
mengajak peserta didik untuk merefleksikan
nilai-nilai tersebut, manfaatnya dan kendala- kendalanya apa yang ditemukan dalam
pelaksanaannya. Untuk menanamkan nilai
seperti di atas, salah satunya dikenal pendekatan Value Clarification Technique
(VCT).
INOVASI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DENGAN METODE VCT
VCT adalah salah satu teknik
pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan
pancapaian pendidikan nilai. Djahiri (1992)
mengemukakan bahwa Value Clarification
Technique, merupakan sebuah cara
bagaimana menanamkan dan menggali/
mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari diri
peserta didik. Karena itu, pada prosesnya
VCT berfungsi untuk:
a) mengukur atau
mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang
suatu nilai;
b) membina kesadaran siswa
tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang
positif maupun yang negatif untuk kemudian
dibina kearah peningkatan atau
pembetulannya;
c) menanamkan suatu nilai
kepada siswa melalui cara yang rasional dan
diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri (1979: 116)
menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan
untuk “melatih dan membina siswa tentang
bagaimana cara menilai, mengambil
keputusan terhadap suatu nilai umum untuk
kemudian dilaksanakannya sebagai warga
masyarakat”.
Pola pembelajaran VCT menurut Djahiri
(1992), dianggap unggul untuk
pembelajaran afektif karena; pertama,
mampu membina dan mempribadikan nilai
dan moral; kedua, mampu mengklarifikasi
dan mengungkapkan isi pesan materi yang
disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi
dan menilai kualitas nilai moral diri siswa
dan nilai moral dalam kehidupan nyata;
keempat, mampu mengundang, melibatkan,
membina dan mengembangkan potensi diri
siswa terutama potensi afektualnya; kelima,
mampu memberikan pengalaman belajar
dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu
menangkal, meniadakan mengintervensi
dan menyubversi berbagai nilai moral naif
yang ada dalam sistem nilai dan moral yang
ada dalam diri seseorang; ketujuh, menuntun
dan memotivasi untuk hidup layak dan
bermoral tinggi.
Dari hal diatas dapat disimpulkan
bahwa pendekatan VCT dapat diartikan
sebagai teknik pengajaran untuk membantu
siswa dalam mencari dan menentukan suatu
nilai yang dianggap baik dalam menghadapi
suatu persoalan melalui proses menganalisis
nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri
siswa.
VCT sebagai suatu model dalam strategi
pembelajaran moral bertujuan (1) Untuk
mengukur atau mengetahui tingkat
kesadaran siswa tentang suatu nilai. (2)
Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai
yang dimilikinya baik tingkatannya maupun
sifatnya (positif dan negatifnya) untuk
kemudian dibina ke arah peningkatan dan
pembetulannya. (3) Untuk menanamkan
nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara
yang rasional dan diterima siswa, sehingga
pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi
milik siswa. (4) Melatih siswa bagaimana
cara menilai, menerima, serta mengambil
keputusan terhadap sesuatu persoalan
dalam hubungannya dengan kehidupan
sehari-hari di masyarakat.
Abdul Azis Wahab (2007)
mengemukakan 4 macam rambu –rambu
pengembangan model VCT, yaitu:
1) Difokuskan pada isu-isu kehidupan yang
relevan. Model VCT yang dikembangkan
hendaknya mampu mengarahkan siswa
memprioritaskan dan mereflesikan
urutan nilai dalam kehidupannya
sehari-hari.
2) Mampu memberikan kesadaran siswa
menerima dirinya sebagai individu dan
jujur dengan dirinya (acceptance of
what is) dan bukan sebagai keputusan
menerima posisi nilai yang menjadi
pilihannya (a nonjudgemental
acceptance of their value position).
3) Mampu merespon siswa merefleksikan
nilai lebih lanjut ( an invitation to reflect
further)
4) Mampu memberikan kepuasan
(satisfiction) dan keyakinan (belief)
terhadap nilai yang menjadi nilai
pilihannya sehinga menimbulkan
kekuatan pada diri seseornag untuk
berbuat sesuatu (an nourishment of
personal powers).
VCT menekankan bagaimana
sebenarnya seseorang membangun nilai
yang menurut anggapannya baik, yang pada
gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehai-hari di
masyarakat. Dalam praktik pembelajaran,
VCT dikembangkan melalui proses dialog
antara guru dan siswa. Pendekatan ini meliputi:
a). Evolution
Approach (pendekatan evolusi); kebebasan
diberikan kepada siswa untuk
mengekspresikan tentang perasaan,
penilaian dan tanggapan terhadap objek
belajar, kebebasan mengangkat nilai-nilai
yang terkandung dalam proses
pembelajaran;
b) pendekatan sugesti terarah
yaitu guru harus menciptakan stimulan bagi
peserta didik dan secara halus mengarahkan
pada suatu kesimpulan terarah;
c)
pendekatan kesadaran: dalam pendekatan
ini peserta didik diajak untuk mengamati
lingkungan sekitar untuk menyadari
keberadaan dirinya, sesama dan lingkungan;
d) Moral Reasoning (mencari nilai moral),
yaitu guru membuat permasalahan untuk
dipecahkan secara bersama dan peserta
diharapkan menemukan nilai-nilai moral
yang terkandung didalamnya. Siswa diajak
merefleksikannya sejauhmana nilai-nilai
tersebut membangun mentalitasnya.
Inovasi pendekatan VCT dapat di
lakukan dengan menggunakan beberapa
metode berikut :
1) Metode Diskusi ; Metode ini bertujuan
untuk tukar menukar gagasan,
pemikiran, informasi/ pengalaman
diantara peserta, sehingga dicapai
kesepakatan pokok-pokok pikiran
(gagasan, kesimpulan). Untuk mencapai
kesepakatan tersebut, para peserta
dapat saling beradu argumentasi untuk
meyakinkan peserta lainnya.
Kesepakatan pikiran inilah yang
kemudian ditulis sebagai hasil diskusi.
Diskusi biasanya digunakan sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari
penerapan berbagai metode lainnya,
seperti: penjelasan (ceramah), curah
pendapat, diskusi kelompok, permainan,
dan lain-lain.
2) Metode Curah Pendapat (Brain
Storming); Metode curah pendapat
adalah suatu bentuk diskusi dalam
rangka menghimpun gagasan, pendapat,
informasi, pengetahuan, pengalaman,
dari semua peserta. Berbeda dengan
diskusi, dimana gagasan dari seseorang
dapat ditanggapi (didukung, dilengkapi,
dikurangi, atau tidak disepakati) oleh
peserta lain, pada penggunaan metode
curah pendapat pendapat orang lain
tidak untuk ditanggapi. Tujuan curah
pendapat adalah untuk membuat
kompilasi (kumpulan) pendapat,
informasi, pengalaman semua peserta
yang sama atau berbeda. Hasilnya
kemudian dijadikan peta informasi, peta
pengalaman, atau peta
gagasan (mindmap) untuk menjadi
pembelajaran bersama.
3) Metode Bermain Peran (Role-Play);
Bermain peran pada prinsipnya
merupakan metode untuk
‘menghadirkan’ peran-peran yang ada
dalam dunia nyata ke dalam suatu
‘pertunjukan peran’ di dalam
kelas/pertemuan, yang kemudian
dijadikan sebagai bahan refleksi agar
peserta memberikan penilaian terhadap
. Misalnya: menilai keunggulan maupun
kelemahan masing-masing peran
tersebut, dan kemudian memberikan
saran/ alternatif pendapat bagi
pengembangan peran-peran tersebut.
Metode ini lebih menekankan terhadap
masalah yang diangkat dalam
‘pertunjukan’, dan bukan pada
kemampuan pemain dalam melakukan
permainan peran.
4) Studi Kasus; Pendekatan studi kasus
biasanya lebih fleksibel karena
disainnya memang ditujukan untuk
mengeksplorasi suatu permasalahan.
Metode kasus merupakan metode
penyajian pelajaran dengan
memanfaatkan kasus yang ditemui anak
sebagai bahan pelajaran kemudian
kasus tersebut dibahas bersama untuk
mendapatkan penyelesaian atau jalan
keluar.
5) Kegiatan Out bound; Pelaksanaan
pembelajaran dengan model
Outboundterdapat empat tahapan yang
terdiri dari: a. Pembelajaran dalam kelas
yang terdiri dari guru menjelaskan
materi terlebih dahulu, b. pembelajaran
di luar kelas, dimana siswa diberi tugas
untuk melakukan observasi mengenai
materi yang sudah diberikan
sebelumnya, c. refleksi akhir, dimana
siswa disuruh untuk memaparkan hasil
observasi kelompoknya, d. refleksi
akhir, siswa disuruh memberikan
kesimpulan dari hasil kerja
kelompoknya dan pada akhirnya guru
akan memberikan kesimpulan akhir.
6) Metode Muhasabah; Muhasabah
merupakan analisis terhadap sebuah pengalaman dengan proses alamiah
yang bisa membuat diri seseorang
menjadi rendah atau bahkan menjadi
bertambah percaya diri. Sehingga peran
guru adalah memberi bantuan kepada
siswa untuk belajar dari semua fakta
dan memberikan keputusan
berdasarkan fakta tersebut, misalnya:
“Kalian benar-benar luar biasa. Kemarin
kalian menyelesaikan soal seperti ini
dalam waktu lima belas menit, tapi
sekarang dalam waktu lima menit saja
kalian sudah bisa menyelesaikannya
dengan baik dan benar. Ini adalah
prestasi yang patut diajungi jempol”.
Sebagai contoh inovasi pendekatan VCT
pada proses pembelajaran PKN yang bisa
dikolaborasikan dengan keenam metode
diatas adalah dengan memutarkan sebuah
film tentang penyelenggaran pemilu atau
tentang pencemaran lingkungan. Indikator
yang mau dicapai adalah siswa mampu
menganalisis proses demokrasi dan masalah
masalah yang terjadi dalam pemilu dan
menganalisis tentang kasus pencemaran
lingkungan yang terjadi di Indonesia,
kemudian setelah selesai memutarkan film,
kelas dibuat dalam beberapa kelompok kerja
dan masing- masing menemukan nilai-nilai
yang terkandung dalam film tersebut, apa
tanggung jawab kita sebagai warga negara
yang baik. Kegiatan ditutup dengan
merefleksikan nilai-nilai tersebut
manfaatnya bagi kehidupan keseharian
sehingga diharapkan peserta didik
mempunyai bekal nilai humanisme dan hal
itu akan bermanfaat jika kelak nantinya
mereka terjun ke masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan pendekatan- pendekatan di atas maka guru harus
terampil menguasai kelas. Guru harus
mampu melakukan pemetaan kelas agar
kegiatan dapat berjalan lancar tanpa harus
ada “ intimidasi “ di dalam kelas. Selain itu
dalam tehnik pembelajarannya guru
seyogyanya membuat pertanyaan- pertanyaan yang bervariasi sehingga akan
tercipta nuansa kebebasan bagi para siswa
untuk menentukan jawaban. Adapun bentuk- bentuk pertanyaannya antara lain:
1) Pertanyaan penjajagan, dimaksudkan
untuk mengetahui sejauhmana siswa
paham akan materi yang telah
diajarkan, sebagai contoh setelah
melihat tayangan tadi adakah diantara
kalian yang merasakan kesedihan?
Mengapa?, dan lainnya.
2) Pertanyaan klarifikasi, dimaksudkan
untuk mengetahui kedalaman
pemahaman siswa tentang suatu materi.
misal, jelaskan makna atau hakekat dari
kasus pencemaran lingkungan yang
telah kalian kaji!
3) Pertanyaan argumentatif, dimaksudkan
untuk minta argumentasi atau alasan
misalnya; Dalam peristiwa tersebut ada
orang yang membuang sampah
ditempat (lahan) orang lain. Baikkah
tindakan tersebut ? mengapa demikian ?
jelaskan!
4) Pertanyaan tuntunan
(mengarahkan/menuntun),
dimaksudkan untuk membantu siswa
dalam menemukan nilai-nilai hidup
yang bermanfaat, misal ; Dari sejumlah
jawaban teman-temanmu tadi
dinyatakan bahwa pengrusakan
lingkungan tidak dapat dibenarkan oleh
siapapun dan apapun. Apakah ajaran
moral bangsa, agama dan hukum juga
beranggapan demikian ? berilah
komentar!
5) Pertanyaan personifikasi atau analogi.
Pertanyaan ini membantu siswa untuk
lebih tajam dalam menganalisa dan
menemukan sikap hidup atau nilai
hidup yang lebih baik. Sebagai contoh ;
coba kalo tempat membuang sampah itu
adalah lahan tempat tinggal kamu, apa
yang kamu rasakan?
Dengan adanya variasi pertanyaan- pertanyaan tersebut siswa dapat
bereksplorasi dan guru dapat menyelesaikan
beban kurikulum yang memang menjadi
tanggung jawabnya. Siswa akan merasa enjoy
dalam mengikuti pelajaran-pelajaran sosial.
Ikatan emosional antar sesama dan interaksi
akan terjalin dengan baik seiring dengan
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang
menyenangkan dan tidak membosankan.
Secara filosofi dapat dirumuskan bahwa
dalam belajar siswa senang dan dapat
memaknai apa yang dipelajarinya. Adanya
penghargaan terhadap seluruh komunitas
kelas, saling menghormati dan menghargai
antar komponen kelas, saling membantu
akan menjadi bekal dikemudian hari
sehingga akan tercipta peradaban bangsa yang baik melalui generasi muda. Proses
tersebut hendaknya berlangsung dalam
suasana santai dan terbuka, Sehingga setiap
siswa dapat mengungkapkan secara bebas
perasaannya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan
guru dalam mengimplementasikan VCT
melalui proses dialog yaitu : (1) Hindari
penyampaian pesan melalui proses
pemberian nasihat, yaitu memberikan
pesan-pesan moral yang menurut guru
dianggap baik; (2) Jangan memaksa siswa
untuk memberi respons tertentu apabila
memang siswa tidak menghendakinya; (3)
Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas
dan terbuka, sehingga siswa akan
mengungkapkan perasaannya secara jujur
dan apa adanya; (4) Dialog dilaksanakan
kepada individu, bukan kepada kelompok
kelas; (5) Hindari respons yang dapat
menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia
menjadi defensive; (6) Tidak mendesak
siswa pada pendirian tertentu; (7)Jangan
mengorek alasan siswa lebih dalam.
Namun demikian pendekatan VCT juga
mempunyai kelemahan dan keterbatasan.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses
pembelajaran nilai atau sikap adalah proses
pembelajaran dilakukan secara langsung
oleh guru, artinya guru menanamkan nilai- nilai yang dianggapnya baik tanpa
memerhatikan nilai yang sudah tertanam
dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi
benturan atau konflik dalam diri siswa
karena ketidakcocokan antara nilai lama
yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang
ditanamkan oleh guru. Salah satu
karakteristik VCT sebagai suatu model dalam
strategi pembelajaran sikap adalah proses
penanaman nilai dilakukan melalui proses
analisis nilai yang sudah ada sebelumnya
dalam diri siswa kemudian
menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru
yang hendak ditanamkan. Namun semua
kelemahan tersebut dapat diminimalisir
dengan inovasi-inovasi pendekatan VCT
diatas.
Komentar
Posting Komentar