INOVASI DAN TANTANGAN MASYARAKAT BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN SECARA UMUM

   Pengertian Kewarganegaraan secara umum adalah sesuatu hal yang berhubungan dengan warga negara dengan negara. Dalam bahasa Inggris, kewarganegaraan dikenal dengan kata citizenship, artinya keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara.
Pengertian Dan Asas Kewarganegaraan
   Sedangkan pengertian warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara dari negara itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
   Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pasal 1 angka (1) pengertian warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN SECARA YURIDIS DAN SOSIOLOGIS
   Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara. Adanya ikatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, yaitu orang tersebut berada di bawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan hukum tersebut antara lain akta kelahiran, surat pernyataan, dan bukti kewarganegaraan.
   Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan hukum. Akan tetapi ditandai dengan ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara yang bersangkutan.

TANTANGAN BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

   Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari lima tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission, saat ini sudah berkembang menjadi tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek sosial budaya. Secara akademis pendidikan kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahannya pada seluruh dimensi psikologis dan sosial budaya kewarganegaraan individu, dengan menggunakan ilmu politik, ilmu pendidikan sebagai landasan kajiannya atauan penemuannya intinya yang diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi kebermanfatan terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan setiap warga negara dalam konteks sistem pendidikan nasional (Wiranaputra, 2004).     
   Pendidikan Kewarganegaraan yang selanjutnya disingkat PKN, sudah lama dikembangkan dan dilaksanakan dalam kurikulum kurikulum di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan dilevel ini tidak dapat disangkal telah membawa keberhasilan, walaupun belum optimal. Secara umum penguasaan pengetahuan kewarganegaraan lulusan pendidikan dasar dan menengah relatif cukup, tetapi penguasaan nilai dalam arti penerapan nilai, keterampilan sosial dan partisipasi sosial hasilnya belum menggembirakan. Kelemahan tersebut sudah tentu terkait atau dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses pendidikan atau pembelajaran, kurikulum, pengelolaan dan pelaksanaan serta faktor-faktor yang berpengaruh lainnya. 
   Berkenaan dengan kurikulum dan rancangan pembelajaran PKN, beberapa penelitian telah memberi gambaran tentang kondisi tersebut. Umumnya perencanaan dan pelaksanaan pembeajaran PKn tidak disusun berdasarkan basic competencies melainkan pada materi, sehingga dalam kurikulumnya lebih banyak memuat konsep- konsep teoritis”. Pembelajaran PKN di sekolah lebih menekankan aspek pengetahuan, berpusat pada guru, mengarahkan bahan berupa informasi yang tidak mengembangkan berpikir nilai serta hanya membentuk budaya menghafal dan bukan berpikir kritis. Pembelajaran PKN sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran PKN. Model pembelajaran PKN yang diimplementasikan saat ini masih bersifat konvensional sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara optimal. 
   Dengan pembelajaran seperti itu maka perbedaan individual siswa di kelas tidak dapat terakomodasi sehingga sulit tercapai tujuan–tujuan spesifik pembelajaran terutama bagi siswa berkemampuan rendah. Model pembelajaran PKN saat ini juga lebih menekankan pada aspek kebutuhan formal dibanding kebutuhan riil siswa sehingga proses pembelajaran yang dilakukan belum dapat optimal untuk mengembangkan potensi anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama beberapa dekade ini pendidikan hanya menyuguhkan hafalan dan siswa dianggap sebagai mesin foto kopi yang harus menghafal berlembar-lembar. Siswa tidak diajak untuk berpikir dan bagaimana berpikir untuk mengembangkan hidup. Pendidikan kurang menyentuh pada pembentukan watak dan moralitas seseorang sehingga yang muncul adalah dehumanisasi dan dekadensi moral. Lepas dari faktor penyebab kegagalan, guru memegang peranan penting dalam soal sukses tidaknya proses pembelajaran. 
   Jika menilik kebelakang dengan proses pembelajaran selama ini, sebahagian pendidik masih menggunakan paradigma lama sehingga siswa tidak diberi kesempatan yang bebas untuk mengkreasikan secara aktif ide atau gagasannya. Pada paradigma lama tidak bisa dipungkiri bahwa guru sering melakukan hal-hal berikut misalnya; memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, mengkotak- kotakkan siswa berdasar tingkat keberhasilan dalam menghafal dan memacu siswa untuk berkompetisi. Seiring tuntutan jaman dan semakin meningkatnya kebutuhan pendidikan maka dunia pendidikan harus berbenah diri sehingga tercipta kualitas pendidikan yang lebih baik. Untuk itu, guru harus berani mengubah paradigma lama ke dalam paradigma yang lebih baru. 
   Padahal Pendidikan Kewarganegaraan yang sarat akan nilai-nilai juga menyumbangkan keberhasilan seseorang dalam masyarakat. Bayangkan seseorang berhasil dalam bisnis, diplomasi, hubungan regional maupun internasional tidak lepas dari interaksi sosial. Dalam interaksi tersebut seseorang dituntut untuk bisa memahami karakter, etika pergaulan dan spiritual sehingga seseorang berhasil menyelami sikap, kemauan dan membangun kesepakatan dengan orang lain. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial bukan matematis atau hukum alam. Untuk itu betapa pentingnya pendekatan sosial dalam kehidupan ini dan itu semua ada dalam konstruksi ilmu-ilmu sosial. 
   Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa betapa pentingnya peranan pendidikan PKN dalam mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan sosial. Dengan pengembangan pembelajaran PKN yang tepat maka dapat mengarahkan siswa menjadi warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang baik namun masih banyak ditemukan kelemahan dalam pembelajaran PKN, baik dalam rancangan maupun proses pembelajaran. Untuk itulah betapa tantangan pembelajaran dan pengembangan model pembelajaran PKN menjadi hal yang sangat penting untuk terus dikaji dan didiskusikan yang akhirnya mampu diimplementasikan seperti yang diharapkan. 
   Walaupun pembelajaran PKn sudah diberi “amanah lebih” untuk membentuk dan mengembangkan nilai dan moral pada peserta didik, tapi kenyataannya nilai dan moral itu lebih banyak terpatri pada asfek kognitif siswa. Kurang tepatnya metode pengajaran dan pendekatan yang dipraktekkan guru di kelas selama proses pembelajaran menyumbangkan andil terbesar dari permasalahan ini, disamping juga diakibatkan karena sistem pendidikan nasional, penyusunan kurikulum dan politisasi dalam dunia pendidikan dan sebagainya. 
   Berdasarkan pada uraian di atas paling tidak ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membenahi permasalahan yang ada tersebut, seperti melakukan pengembangan model pembelajaran yang mampu meningkatkan keterampilan sosial. Model ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan sosial berdasarkan pengetahuan PKN, pendidik perlu membuat konstruksi pembelajaran yang termuat dalam dokumen pengajaran (silabus) yang terstruktur sehingga dalam tataran praksis mudah dipahami. 
   Konstruksi pembelajaran harus memuat hal-hal berikut: pertama; pengetahuan yang dibuat ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa. Kedua siswa diberi kebebasan untuk membangun pengetahuan secara aktif, ketiga; guru perlu mengembangkan kompetensinya dan kemampuan siswa lewat kegiatan- kegiatan penemuan. Keempat; terbangunnya interaksi dan relasi yang baik antara peserta didik dan pendidik. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus mengedepankan informasi akurat, up to date, pemahaman dan penghayatan keilmuan, nilai hidup dan moral secara jelas. Untuk mengoperasionalkan tujuan tersebut maka guru sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut (Sutarjo Adi Susilo: 2000 ): 
a) Pembelajaran harus bersifat siswa sentris yaitu guru harus memahami keadaan siswa, memperhatikan perkembangannya dan harus ada evaluasi yang maksimal berkaitan dengan gambaran perkembangan siswa; 
b) Pembelajaran harus bersifat humanistik yaitu peserta didik harus dipahami dan dihargai sebagai manusia yang utuh dengan suasana kekeluargaan dalam kelas. Dengan pendekatan ini sisw akan mudah mengeksplorasi bakat dan minatnya; 
c) Menggunakan pendekatan belajar multidimensional, multi media dan multi evaluasi. Kondisi ini akan menbuat siswa lebih enjoy dan tercipta joyfull learning, siswa merasa tidak bosan di kelas, dan mudah memahami materi dan juga jika terjadi berbagai kesalahan akan mudah untuk dibenahi. Multi media menyebabkan siswa mudah membandingkan dan mengkaji dari berbagai sumber belajar; 
d) Partisipasi aktif dan kreatif siswa di dalam kelas. 
Selanjutnya, Winataputra (2005), menjelaskan agar paling PKn dapat benar- benar memberikan kontribusi dalam rangka pembangunan karakter bangsa, tiga hal perlu kita cermati, yaitu “curriculum content and instructional strategies; civic education classroom; and learning environment. Pertama, dilihat dari content kurikulum, Kedua, kelas PKn seyogyanya dilihat dan diperlakukan sebagai laboratorium demokrasi. Profil konseptual kelas PKn yang digagaskan di atas, harus dikembangkan untuk menggantikan kelas PKn saat ini yang bersifat lebih dominatif dan indoktrinatif. Untuk itu maka proses pembelajaran PKn perlu dikembangkan dengan menerapkan pendekatan belajar yang bersifat memberdayakan siswa/mahasiswa. Dengan demikian kelas PKn akan berubah dari yang selama ini bersifat “dominatif” menjadi “integratif”. Pendekatan pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah atau “critical thinking-oriented and problem solving- oriented modes”.Dan ketiga, pada saat bersamaan lingkungan masyarakat sekolah dan masyarakat yang lebih luas seyogyanya, juga dikondisikan untuk menjadi “spiral global classroom”. 
   Berkaitan dengan hal diatas maka guru harus berhasil melibatkan siswa dalam proses belajar sehingga siswa akan merasa ikut serta dalam setiap aktifitasnya. Proses pembelajaran dibuat semenarik mungkin dengan cara menyampaikan kerangka konseptual secara jelas dan mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam fakta tersebut. Guru harus berani memunculkan nilai yang bisa diangkat dan dihayati untuk menjadi gerakan bersama. Misal dalam materi nasionalisme, nilai keadilan dan demokratisasi. Nilai- nilai yang sudah ditemukan tersebut diamalkan dan dihayati dalam kesehariannya dan akan lebih baik guru kerjasama dengan orang tua/wali siswa untuk memantau penerapannya. Contoh riil misalnya, siswa diberi tugas untuk membuat laporan harian nilai-nilai yang sudah diterapkan sehari-hari di rumah, orang tua menandatangani tugas laporan tersebut dan guru mengecek sejauhmana pelaksanaannya melalui buku tersebut. Di dalam kelas guru mengajak peserta didik untuk merefleksikan nilai-nilai tersebut, manfaatnya dan kendala- kendalanya apa yang ditemukan dalam pelaksanaannya. Untuk menanamkan nilai seperti di atas, salah satunya dikenal pendekatan Value Clarification Technique (VCT). 

INOVASI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DENGAN METODE VCT


   VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai. Djahiri (1992) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique, merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/ mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT berfungsi untuk:

a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai;
b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya;
c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri (1979: 116) menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk “melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat”.
   Pola pembelajaran VCT menurut Djahiri (1992), dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena; pertama, mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral; kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang; ketujuh, menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.
   Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
   VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral bertujuan (1) Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai. (2) Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina ke arah peningkatan dan pembetulannya. (3) Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa. (4) Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat.
   Abdul Azis Wahab (2007) mengemukakan 4 macam rambu –rambu pengembangan model VCT, yaitu:
1) Difokuskan pada isu-isu kehidupan yang relevan. Model VCT yang dikembangkan hendaknya mampu mengarahkan siswa memprioritaskan dan mereflesikan urutan nilai dalam kehidupannya sehari-hari.
2) Mampu memberikan kesadaran siswa menerima dirinya sebagai individu dan jujur dengan dirinya (acceptance of what is) dan bukan sebagai keputusan menerima posisi nilai yang menjadi pilihannya (a nonjudgemental acceptance of their value position).
3) Mampu merespon siswa merefleksikan nilai lebih lanjut ( an invitation to reflect further)
4) Mampu memberikan kepuasan (satisfiction) dan keyakinan (belief) terhadap nilai yang menjadi nilai pilihannya sehinga menimbulkan kekuatan pada diri seseornag untuk berbuat sesuatu (an nourishment of personal powers).
  VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehai-hari di masyarakat. Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa.  Pendekatan ini meliputi:
a). Evolution Approach (pendekatan evolusi); kebebasan diberikan kepada siswa untuk mengekspresikan tentang perasaan, penilaian dan tanggapan terhadap objek belajar, kebebasan mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam proses pembelajaran;
b) pendekatan sugesti terarah yaitu guru harus menciptakan stimulan bagi peserta didik dan secara halus mengarahkan pada suatu kesimpulan terarah;
c) pendekatan kesadaran: dalam pendekatan ini peserta didik diajak untuk mengamati lingkungan sekitar untuk menyadari keberadaan dirinya, sesama dan lingkungan;
d) Moral Reasoning (mencari nilai moral), yaitu guru membuat permasalahan untuk dipecahkan secara bersama dan peserta diharapkan menemukan nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya. Siswa diajak merefleksikannya sejauhmana nilai-nilai tersebut membangun mentalitasnya.
  Inovasi pendekatan VCT dapat di lakukan dengan menggunakan beberapa metode berikut :
1) Metode Diskusi ; Metode ini bertujuan untuk tukar menukar gagasan, pemikiran, informasi/ pengalaman diantara peserta, sehingga dicapai kesepakatan pokok-pokok pikiran (gagasan, kesimpulan). Untuk mencapai kesepakatan tersebut, para peserta dapat saling beradu argumentasi untuk meyakinkan peserta lainnya. Kesepakatan pikiran inilah yang kemudian ditulis sebagai hasil diskusi. Diskusi biasanya digunakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penerapan berbagai metode lainnya, seperti: penjelasan (ceramah), curah pendapat, diskusi kelompok, permainan, dan lain-lain.
2) Metode Curah Pendapat (Brain Storming); Metode curah pendapat adalah suatu bentuk diskusi dalam rangka menghimpun gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, pengalaman, dari semua peserta. Berbeda dengan diskusi, dimana gagasan dari seseorang dapat ditanggapi (didukung, dilengkapi, dikurangi, atau tidak disepakati) oleh peserta lain, pada penggunaan metode curah pendapat pendapat orang lain tidak untuk ditanggapi. Tujuan curah pendapat adalah untuk membuat kompilasi (kumpulan) pendapat, informasi, pengalaman semua peserta yang sama atau berbeda. Hasilnya kemudian dijadikan peta informasi, peta pengalaman, atau peta gagasan (mindmap) untuk menjadi pembelajaran bersama.
3) Metode Bermain Peran (Role-Play); Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap . Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran/ alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Metode ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
4) Studi Kasus; Pendekatan studi kasus biasanya lebih fleksibel karena disainnya memang ditujukan untuk mengeksplorasi suatu permasalahan. Metode kasus merupakan metode penyajian pelajaran dengan memanfaatkan kasus yang ditemui anak sebagai bahan pelajaran kemudian kasus tersebut dibahas bersama untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar.
5) Kegiatan Out bound; Pelaksanaan pembelajaran dengan model Outboundterdapat empat tahapan yang terdiri dari: a. Pembelajaran dalam kelas yang terdiri dari guru menjelaskan materi terlebih dahulu, b. pembelajaran di luar kelas, dimana siswa diberi tugas untuk melakukan observasi mengenai materi yang sudah diberikan sebelumnya, c. refleksi akhir, dimana siswa disuruh untuk memaparkan hasil observasi kelompoknya, d. refleksi akhir, siswa disuruh memberikan kesimpulan dari hasil kerja kelompoknya dan pada akhirnya guru akan memberikan kesimpulan akhir.
6) Metode Muhasabah; Muhasabah merupakan analisis terhadap sebuah pengalaman dengan proses alamiah yang bisa membuat diri seseorang menjadi rendah atau bahkan menjadi bertambah percaya diri. Sehingga peran guru adalah memberi bantuan kepada siswa untuk belajar dari semua fakta dan memberikan keputusan berdasarkan fakta tersebut, misalnya: “Kalian benar-benar luar biasa. Kemarin kalian menyelesaikan soal seperti ini dalam waktu lima belas menit, tapi sekarang dalam waktu lima menit saja kalian sudah bisa menyelesaikannya dengan baik dan benar. Ini adalah prestasi yang patut diajungi jempol”.
   Sebagai contoh inovasi pendekatan VCT pada proses pembelajaran PKN yang bisa dikolaborasikan dengan keenam metode diatas adalah dengan memutarkan sebuah film tentang penyelenggaran pemilu atau tentang pencemaran lingkungan. Indikator yang mau dicapai adalah siswa mampu menganalisis proses demokrasi dan masalah masalah yang terjadi dalam pemilu dan menganalisis tentang kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia, kemudian setelah selesai memutarkan film, kelas dibuat dalam beberapa kelompok kerja dan masing- masing menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam film tersebut, apa tanggung jawab kita sebagai warga negara yang baik. Kegiatan ditutup dengan merefleksikan nilai-nilai tersebut manfaatnya bagi kehidupan keseharian sehingga diharapkan peserta didik mempunyai bekal nilai humanisme dan hal itu akan bermanfaat jika kelak nantinya mereka terjun ke masyarakat.
   Untuk dapat melaksanakan pendekatan- pendekatan di atas maka guru harus terampil menguasai kelas. Guru harus mampu melakukan pemetaan kelas agar kegiatan dapat berjalan lancar tanpa harus ada “ intimidasi “ di dalam kelas. Selain itu dalam tehnik pembelajarannya guru seyogyanya membuat pertanyaan- pertanyaan yang bervariasi sehingga akan tercipta nuansa kebebasan bagi para siswa untuk menentukan jawaban. Adapun bentuk- bentuk pertanyaannya antara lain:
1) Pertanyaan penjajagan, dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana siswa paham akan materi yang telah diajarkan, sebagai contoh setelah melihat tayangan tadi adakah diantara kalian yang merasakan kesedihan? Mengapa?, dan lainnya.
2) Pertanyaan klarifikasi, dimaksudkan untuk mengetahui kedalaman pemahaman siswa tentang suatu materi. misal, jelaskan makna atau hakekat dari kasus pencemaran lingkungan yang telah kalian kaji!
3) Pertanyaan argumentatif, dimaksudkan untuk minta argumentasi atau alasan misalnya; Dalam peristiwa tersebut ada orang yang membuang sampah ditempat (lahan) orang lain. Baikkah tindakan tersebut ? mengapa demikian ? jelaskan!
4) Pertanyaan tuntunan (mengarahkan/menuntun), dimaksudkan untuk membantu siswa dalam menemukan nilai-nilai hidup yang bermanfaat, misal ; Dari sejumlah jawaban teman-temanmu tadi dinyatakan bahwa pengrusakan lingkungan tidak dapat dibenarkan oleh siapapun dan apapun. Apakah ajaran moral bangsa, agama dan hukum juga beranggapan demikian ? berilah komentar!
5) Pertanyaan personifikasi atau analogi. Pertanyaan ini membantu siswa untuk lebih tajam dalam menganalisa dan menemukan sikap hidup atau nilai hidup yang lebih baik. Sebagai contoh ; coba kalo tempat membuang sampah itu adalah lahan tempat tinggal kamu, apa yang kamu rasakan?
   Dengan adanya variasi pertanyaan- pertanyaan tersebut siswa dapat bereksplorasi dan guru dapat menyelesaikan beban kurikulum yang memang menjadi tanggung jawabnya. Siswa akan merasa enjoy dalam mengikuti pelajaran-pelajaran sosial. Ikatan emosional antar sesama dan interaksi akan terjalin dengan baik seiring dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan. Secara filosofi dapat dirumuskan bahwa dalam belajar siswa senang dan dapat memaknai apa yang dipelajarinya. Adanya penghargaan terhadap seluruh komunitas kelas, saling menghormati dan menghargai antar komponen kelas, saling membantu akan menjadi bekal dikemudian hari sehingga akan tercipta peradaban bangsa  yang baik melalui generasi muda. Proses tersebut hendaknya berlangsung dalam suasana santai dan terbuka, Sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya.
   Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog yaitu : (1) Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral yang menurut guru dianggap baik; (2) Jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila memang siswa tidak menghendakinya; (3) Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya; (4) Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas; (5) Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensive; (6) Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu; (7)Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.
   Namun demikian pendekatan VCT juga mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai- nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. Namun semua kelemahan tersebut dapat diminimalisir dengan inovasi-inovasi pendekatan VCT diatas.

Komentar